Jumat, 24 Juni 2011

Selayang Pandang RUU PT

“Mencerdaskan kehidupan bangsa”, inilah sepenggal kalimat yang tertera dengan sangat jelas dalam pembukaan UUD 1945. Sebuah cita yang luhur dan sangat mulia. Inilah yang menjadi fitrah manusia sesungguhnya, yang secara jelas dimuliakan oleh Allah SWT, tuhan dari semesta alam. Kecerdasan manusia merupakan suatu anugerah yang sang sangat besar, dan perlu dikembangkan dengan sungguh-sungguh.
            Sebuah kecerdasan sangat erat kaitannya dengan proses pendidikan yang harus, ‘mau tidak mau’ dilalui oleh manusia. Karena pendidikan adalah hak bagi setiap warga negara seperti yang tertera di dalam isi UUD 1945. Tak ada alasan apapun untuk memungkiri, bahwa pendidikan adalah hak bagi seluruh warga negara tanpa terkecuali, sehingga tidak pernah ada suatu kesan bahwa pendidikan itu adalah hak eksklusif yang hanya bisa diperoleh oleh orang tertentu (orang berduit).
            Sampai saat ini, pendidikan tinggi bagaikan puncak gedung yang menjulang tinggi ke langit, sehingga tidak sembarang orang yang mampu meraihnya. Bukan rahasia lagi, bahwa ketidak mampuan ini lebih ditekankan pada biayanya yang sangat tinggi. Mari kita telusuri secara bersama, sebetulnya apa yang menyebabkan biaya untuk mencicipi bangku kuliah ini mahal.
Pendidikan tinggi memang merupakan suatu pendidikan formal yang mengarahkan pengembangan kemampuan profesional setiap individu untuk mampu hidup dalam masyarakat. Karena ini pulalah, pendidikan tinggi memberikan tarif dengan biaya yang selangit. Padahal, dengan sistem yang seperti ini, lebih banyak individu yang menganggap bahwa kuliah adalah jalan yang dapat mengantarkannya kepada dunia kerja yang bisa menghasilkan banyak uang. Maka tidak dapat dihindari bila suatu ketika akan muncul financial oriented dalam benak pengenyam pendidikan tinggi ini. “Biarin kuliah mahal juga, yang penting nanti bisa dapat kerja yang bisa menghasilkan banyak uang”.
            Namun sebetulnya banyak hal yang menyebabkan biaya pendidikan tinggi begitu mahal, salah satunya adalah regulasi yang digulirkan oleh pemerintah tentang pendidikan tinggi. Ya, suatu payung hukum yang diberi nama Undang-undang pendidikan tinggi. Mengapa hal ini dapat menyebabkan terjadinya kondisi tersebut?
            Seperti yang kita ketahui bersama, pada pemerintahan SBY (kabinet Indonesia bersatu jilid 2 ini) diputuskan bahwa 20% APBN akan dialokasikan untuk subsidi pendidikan. Hal ini memang sangat penting, dimana pendidikan, menjadi batu loncatan untuk menuju pembangunan dan pengembangan bangsa ini menjadi negara yang maju. Namun 20% ini, malah justru diarahkan kepada biaya-biaya pendidikan yang tidak begitu fundamental, sehingga, sekolah dan kuliah tetap mahal. Kemana 20% APBN tersebut mengalir? Diarsir dari beberpa informasi yang diperoleh, 20% APBN tersebut lebih banyak mengarah kepada tunjangan-tunjangan gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta biaya operasional UN yang kita ketahui bersama carut-marutnya. Jelas hal ini menyebabkan sekolah dan kuliah tetap mahal. L
            Pada tahun 2009 lalu, pemerintah melalui Depdiknas bersama komisi X DPR RI telah menyusun UU Pendidikan Tinggi (UU BHP) yang mengarahkan kepada liberalisasi dan Industrialisasi kampus. Kontan, Mahkamah Konstitusi menolak secara tegas UU BHP ini. Penolakan ini didasarkan kepada adanya suatu indikasi bahwa melali UU BHP tersebut akan mengarahkan perguruan tinggi menjadi Badan Hukum Pendidikan yang memilki hak otonomi baik secara penuh ataupun sebagian. Melalui UU BHP ini pula, pemerintah seolah-olah melepaskan tanggung jawabnya terhadap dana pendidikan untuk perguruan tinggi.
            Ditolaknya UU BHP spontan membuat pemerintah dan Komisi X DPR RI malu (seharusnya) karena tidak becus membuat payung hukum yang baik dan maslahat.
            Oleh karena itu, dengan segera kemendiknas dan komisi X DPR RI kembali merancang suatu undang-undang pendidikan tinggi untuk mengakhiri kekosongan hukum tentang pendidikan tinggi. Sehingga muncullah RUU PT ke permukaan.
            Baru saja draft RUU PT muncul ke permukaan, desas-desus penolakan terhadap RUU PT sudah merebak dimana-mana (bagi yang tahu, yang ga tahu mah ya anteng-anteng aza. Kalo belum mengusik kenyamanannya, terus aza diam tak peduli dengan keadaan). Apakah sebetulnya yang menyebabkan penolakan itu muncul?
            Berdasarkan hasil analisis dari kajian kami (Pusat Kajian Pendidikan dan Kebijakan Nasional, BEM REMA UPI), penolakan itu berlatar belakang dari perkiraan dampak yang akan muncul jika RUU PT ini disahkan.
            Secara garis besar, disahkannya RUU PT ini akan mengarahkan perguruan tinggi menjadi liberal dengan ditunjang oleh industrialisasi, komersialisasi, dan privatisasi kampus. Selain itu, akses masyarakat terhadap perguruan tinggi akan semakin menyempit dan sulit juga. Ya, ujung-ujungnya mah kuliah jadi mahal lah... L
            Apa dasar dari analisa dampak tersebut? Dalam RUU PT, perguruan tinggi diklasifikasikan menjadi perguruan tinggi mandiri baik sebagian atau penuh (mengarah kepada BLU), perguruan tinggi berbadan hukum, dan perguruan tinggi pelaksan teknis kementrian dan LPNK. Maksud lain dari kata mandiri ini adalah perguruan tinggi sudah tidak bisa mengharapkan lagi supply dana dari pemerintah baik untuk biaya operasional maupun sarana-prasarana. Sehingga perguruan tinggi tidak memiliki sumber pemasukan yang cukup untuk melaksanakan kegiatanya baik akademik maupun non akademik. Inilah yang dimaksud dengan bentuk lepas tangan pemerintah terhadap dana pendidikan. Kemandirian perguruan tinggi ini kemudian mengarahkan perguruan tinggi untuk memilki hak otonom baik dalam rangka pelaksanaan kegiatan maupun pengelolaan keuangan. Inilah yang dimaksudkan dengan liberal, dimana perguruan tinggi memiliki hak otonomi baik secara penuh maupun sebagian. Tidak hanya melahirkan liberalisasi kampus, tetapi juga mengarahkan perguruan tinggi menjadi industri yang mampu menghasilkan uang (percetakan uang kali ya..??). Ya, industrialisasi yang dimaksudkan adalah pendidikan dijadikan sebagai salah satu sektor jasa yang diharapkan mampu menjadi penghasilan atau hanya sekedar mengurangi beban pemerintah dalam mendanai pendidikan. Sehingga pemerintah tidak perlu dalam-dalam merogok kantong kas negara untuk mendanai pendidikan. Industrialisasi ini jelas mengantarkan perguruan tinggi ke dalam komersialisasi pendidikan baik jasa maupun sarana prasarana (fasilitas). Kurangnya supply dana dari pemerintah menyebabkan perguruan tinggi mau tidak mau mencari ranah yang dapat memberikan pemasukan yang berarti untuk dana operasional. Perguruan tinggi akan sangat bergantung kepada dana yang berasal dari iuran mahasiswa. Cara lain yang dilakukan adalah penyewaan fasilitas kampus oleh masyarakat dan civitas akademik sekalipun (ujung-ujungnya mahasiswa juga yang susah, kuliah mahal, mau make fasilitas kampus juga harus bayar. Nasib,, nasib..... Tapi apa kita mau menyerah dengan keadaan ini?) Privatisasi kampus sendiri dikarenakan adanya hak yang dimilki oleh perguruan tinggi untuk memiliki keuangan, dikarenakan berbadan hukum. Ya, secara umum masalah ini akan bermuara kepada semakin sempit dan sulitnya akses masyarakat terhadap pendidikan tinggi, kuliah mahal dan menjadi hak yang eksklusif. Oleh karena itu, kebanyakan insan pendidikan mengatakan bahwa RUU PT ini merupakan baju lain dari UU BHP.
            Ya, semua bisa muncul seandainya RUU PT ini disahkan menjadi UU PT.
(Sebuah catatan dari kacamata mahasiswa
Melalui kajian bersama PKPKN BEM REMA UPI)
Abdul Rohman Supandi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar